Minggu, 16 Mei 2010

penyalah gunaan obat2an

“SUBSTANCE ABUSE”
PENYALAHGUNAAN SUBSTANSI

Penyalahgunaan obat2an didefinisikan sebagai “suatu pola psikoaktif yang menggunakan yang berdampak terhadap kesehatan”. Substansi tersebut antara lain: kafein, tembakau, alcohol, dn obat2an. “Abuse” bias bervariasi termasuk percobaan (coba-coba), penyalahgunaan resep obat, atau juga kecanduan. “Addiction “ menggambarkan suatu ketergantungan secara fisik dan atau psikologis terhadap substansi yang disalahgunakan tersebut. “Substanse Abuse” apakah itu coba-coba maupun ataupun ketagihan, memiliki dampak bagi kesehatan wanita dan janinnya atau pada BBL.
Wanita yang kecanduan alcohol dan obat2an biasanya menderita masalah psikologis yang serius, beresiko mengalami defisiensi nutrisi, mengalami keterlambatan prenatal care, dan mengalami kesulitan kunjungan dan jadwal perawatan, sering lehidupan personal dan sosialnya mengalami kesulitan dan menempatkan mereka pada resiko terhadap enyakit2 yang ditularkan melalui penyalahgunaan obat2an dan seks bebas.

SUBSTANSI YANG BERPOTENSI SEBAGAI “ABUSE”
KAFEIN.
Kafein adalah suatu zat stimulansia SSP yang ringan, dan merupakan zat yang paling banyak disalahgunakan. Kopi dan the merupakan sumber kafein yang paling terkenal, tetapi inuman cola, soft drinks, coklat, cocoa, obat2an tertentu juga merupakan sumber2 lain dari kafein. Selama kehamilan, masa paruh kafein dalam tubuh wanita meningkat dua kali sampai empat kali lipat. Pemanjangan masa paruh kafein dalam tubuh wanita ini berkontribusi terhadap peningkatan efek di dalam kehamilan.
Kafein dapat menyebabkan pola denyut nadi ibu berubah mirip seperti pada dampak kekurangan tidur, iritabilias, nervousness, dan kecemasan. Fetal tachycardia dijumpai setelah ibu mengkonsumsi kafein dalam dosis yg tinggi. Kurang tidur dan iritabilitas dapat dilihat ketika pemberian ASI kepada bayi. Seseorang yang mengkonsumsi kafein lebih dari 500 mg perhari (sekitar 5 cangkir kopi) mungkin akan menunjukkan gejala seperti: kepala sakit, lelah, dan lemah, etika kafeinnya di hentikan.
Wanita dengan mengkonsumsi kafein sering kali juga merokok. Konsumsi keduanya kafein (sekitar 300 mg perhari) dan rokok meningkatkan kejadian BBLR, terlihat ada bayi yang terlahir dari ibu yang perokok. Konsumsi kafein yang tinggi (> dari 600 mg perhari) telah diketahui meningkatkan angka kejadian aborsi. Hubungan antara konsumsi kafein dan rokok masih belum jelas studi tentang pengaruh kafein dalam kehamilan, sehungga kafein masih belum begitu jelas diketahui menjadi factor pada kasus aborsi spontan.

TEMBAKAU
Merokok baik pasif ataupu aktif telah menjadi perhatian utama, instansi kesehatan masyarakat. Merokok pada wanita tidak mengalami penurunan angka daripada pada laki2. sekitar 38% wanita hamil masih merokok selama hamil. Nikotin yang terkandung dalam tembakau berhubungan dengan ketergantungan dan efek samping. Nikotin adalah vasokonstriktor utama, dan meningkatkan tekanan darah, denyut nadi, dan kadar efineprin dalam darah, norefineprin, dan karbon monoksida. Penggunaan tembakau dalam waktu lama berhubungan dengan angka kejadian kanker, khusunya kanker paru pada perokok dan kenker mulut pada pegunyah tembakau. Penyakit kardiovaskuler dan pernafasan adalah dihubungkan dengan perilaku erokok ini. Wanita yang merokok memiliki resiko erjadi penyakit tromboembolitik.
Merokok pada kehamilan meningkatkan resiko spontaneous abortion, abnormal plasenta (termasuk plasenta abortion dan pasenta previa), juga preeklamsia. Selama kehamilan, nikotin berakibat pada sirkulasi maternal dan menyebabkan konstriksi dari uterus dan pembuluh arah plasenta. Merokok pada kehamilan erhubungan deat dengan angka kejadian BBLR, menurunkan lama kehamilan, dan kelahiran preterm. Bayi dari wanita yang perokok mempunyai insidens kejadian apneu yang lebih tinggi dan SIDS (sudden Indantf Death Syndrome). Efek pada bayi baru lahir mungkin merupakan kombinasi dari efek2 selama intra uterin pada ibu yang merokok dan efek sebagai prokok pasif setelah ia terlahir.
Wanita yang merokok diperintahkan untuk berhenti selama masa laktasi. Karena resiko yang dihadapi bayi bukan hanya terletak pada kandungan nikotin dalam ASI juga pada bahaya sebagi perokok pasif. Wnita yang tergolong perokok berat (> dari 20 batang perhari) mungkin akan mengalami penurunan produksi ASI.
Tindakan preventif bagi semua wanita, khususnya remaja, seharusnya ermasuk mencegah dari bahaya sebagai perokok pasif. Wanita yang merokok sekali atau 2 kali selama 1 bulan dapat berhenti merokok ketika telah diberikan informasi seputar bahaya merokok bagi kesehatannya dan bagi kesehatan anaknya. Informasinya sendiri mungkin kurang cukup bagi wanita yang hamil dengan riwayat sebagai perokok berat. Program penghentian merokok meliputi pendidikan, dukungan individu, dan dukungan gup, serta tindak lanjut follow up sering menjadi tindakan yang efektif.

MARIYUANA
Mariyuana diklasifikasikan sebagai bahan halusinogenik. Kerja mariyuana adalah mirip dengan alcohol, pada permulaan stimulasi diikuti dengan engan perasaan enak. Mariyuana menyebabkan takikardi, dan menurunkan tekanan darah, berakibat pada hipotensi ortostatik. Merokok dengan Mariyuana memiliki efek terhadap paru mirip dengan merokok dengan tembakau. Perokok mariyuanan juga menyebabkan peningkatan penyakit respiratori dan memproduksi zat residu lebih banyak di paru daripada pada perokok tembakau. Meokok mariyuanan sama bahayanya dengan meokok dengan tembakau terhadap angka kejadian kanker paru.
Tidak ada efek merugikan dari mariyuana selama melahirkan, tetapi perdebatan erus berlangsung. Yang diketahui sebenarnya adalah bahwa mariyuana digunakan bersama dengan kombinasi dengan substansi lain mengakibatkan gangguan pada efek tiap2 bahan. Mariyuana memiliki efek yang berbeda dengan alcohol selama kehamilan dan meningkatkan resiko terjadinya fetal alcohol syndrome.

ALKOHOL
Alkohol merupakan depresan susunan syaraf pusat. Setelah kafein, alcohol seing disalahgunakan. Alcohol juga merupakan bahan tambahan yang sering dipakai dalam obat2an, terutama pada gejala batuk dan demam.
Alcohol dapat diabsorbsi di dalam lambung dan system GI. Dalam kesehatan orang dewasa, lebih dari 90 % alcohol yang diminum di metabolisme di dalam hati. Intoksikasi terjadi ketika alcohol yang diminum dan diserap melebihi dari alcohol yang mampu dinetralisir oleh hati. Toleransi kemudian terjadi ketika metabolisme menyebabkan efek kronik, sehingga lebih banyak alcohol yang dibutuhakn untuk memperoleh efek yang sama. Perhatian sekarang adalah terjadinya toleransi silang antara alcohol dengan sunstansi lain. Individu yang mengalami toleransi terhadap alcohol mirip dengan individu yang toleransi erhadap bahan sedative dan hipnotil, yaitu sama2 membutuhkan jumlah bahan yang lebih besar untuk memperoleh efek yang sama. Setelah mengalami toleransi, wanita yang menyalahgunakan alcohol dan sedative/hipnotik akan menunjukkan efek ketergantungan system syaraf pusat terhadap depresan.
Alat utama yang dapat dipakai untuk mengetahui riwayat pemakaian alcohol pada wanita hamil adalah dengan menggunakan T-ACE, 4 pertanyaan sederhana yang dapat ditanyakan sebagai bagian dari riwayat kesehatan untuk mengidentifikasi penyalahgunaan alcohol pada wanita. Pada pemeriksaan awal, T-ACE mengidentifikasikan 7-10 wanita hamil yang peminum. Initial huruf (aakronim) adalah klue pada sebuah kata pertanyaan ada maksud pertanyaan di bawah ini:
T berapa banyak minuman yang anda ambil (“Take”) untuk mebuat anda merasa tinggi? (tolerance).
A Pernahkah orang lain mengganggu anda (“Annoyed”) dengan membrikan kritikan terhadap perilaku minum anda?
C pernahkan terpikirkan oleh anda untuk berhenti (“Cut down”) dari perilaku minum alcohol?
E pernahkan anda selalu minum wawl pagi hari untuk menenngkan pikiran dan perasaan hangover anda (“Eye Opener”)?
Seorang wanita dngan tolerasni yang masih rendah terhadap alkoholmungkin akan menjawab pertanyaan pertama dengan jawaban “satu atau dua kali minum/ “satu atau dua gelas wine”/ “satu atau dua bir”. Toleransi dan resiko berbahaya yang diakibatkannya akan terjadi ketika wanita menjawab “empat atau lima kali minum”/ “6 pack”/ “ saya dapat minum sepanjang alam dan tidak sampai mabuk”. Pertanyaan afirmasi berikutnya adalah berhubungan dengan level resiko dari konsumsi alcohol.
Konsumsi alcohol selama kehamilan telah dihubungkan dengan peningkatan resiko aborsi spontan ada trimester kedua serta defisiensi nutrisi. Alcohol adalah zat terotogenik terhadap fetus, derajat kerusakannya tergantung terhadap seberapa banyak konsumsinya dan kapan waktu konsumsi alcohol tersebut. Fetal alcohol syndrome mendeskripsikan efek konsumsi alcohol ibu terhadap anaknya. Fetal alcohol syndrome muncul sebagai akibat dari pertumbuhan retardasi prenatal dan postnatal, abnormalitas system syaraf pusat pada fetus dan anak, dan abnormalitas wajah. Fetal alcohol syndrome yang klasikterdiri dari minimal 2 dari hal2 berikut ini: mikrocephali, microopthalmia, short palpebra fissure, poorly developed philtrum. Abnormalotas tambahan berhubungan dengan alcohol adalah: cardiac septal defect, hemangioma, abnormal oral cavities, dan hipospadia.
Masih elum diketahui seberapa banyak alcohol yang masuk sehingga menyebabkan kejadian abnormalitas pada kasus fetal alcohol syndrome. Fetus kelihatan lebih rentan terhadap alcohol selama kehanilan minggu ertama, biasanya sebelum wanita diketahui hamil. Regular moderate ( lebih dari 2 vampuran minuman, 2 gelas wine, 2 bir sehari) sampai dengan alcohol berat selama tahap masa kehamilan telah dihubungkan dengan abnormalitas system syaraf pusat serta munculnya fetal alcohol syndrome.

COCAIN
Kokain adaah stimulant system syaraf senral. Kokain dipakai dalam berbagai cara melalui: itravena, subcutan, dan melalui hidung; dapat juga melalui merokok, sebuah metode yang disebut sebagai “freebasing”. Bentuk khusus dari kokain yang murni disebut “crack” yang biasanya diinhalasi atau dirokok. Rasa euphoria yang dihasilkan oleh crack lebih cepat dan hebat. Bahaya yang ditimbulkan dari konsumsinya freebasing tadi atau pada konsumsi crack, adalah lebih murni daripada bentuk yg lainnya, dan pecandu biasanya mungkin inadvertently overdosis.
Efek dari masuknya kokain meliputi: takikardi dan distritia cardiac, vasokonstriksi, hipertensi, hipertermia, dan seizures. Komplikasi merupakan akibat dari efek vascular dari kokain termasuk miocard infarction, CVA, dan kematian. Seorang wanita yang baru saja menggunakan kokain mungkin akan didiagnosa yang salah sebagai preeklampsia atau eklamsia selama kehamilan.
Selama kehamilan, kokain dihubungkan dengan kejadian aborsi spontan, kelahiran preterm, plasenta aborsio, kelahiran cepat, intoleransi fetal terhadap kelahiran, BBLR, dan kematian fetal. BBL yang terekspos dengan kokain memiliki insiden yang lebih besar terhadap malformasi congenital, meskipun tidak mengalami oerubahan wajah,. Perilaku yang abnormal seperti waktu tidur yang sempit, dan iritabilitas, telah dilaporkan. Bayi yang terekpos dengan kokain pada saat dalam rahim mempunyai resiko lebih tinggi terhadap SIDS. Gejala withdrawl pada bayi dengan ibu kecanduan kokain adalah lebih ringan daripada bayi yang kecanduan narkotik. Gejala withdrawl ada bayi baru lahir meliputi iritabilitas, masalah gastrointestinal, an masalah pada pernafasan.
Wanita yang menyalahgunakan kokain perlu mendapatkan pelayanan penuh dengan program perawatan obat dan seorang petugas kesehatan untuk menyiapkan dan mengatur komplikasi saat melahirkan dan pada anaknya.

AMFEMATIN
Amfetamin adalah zat stimulansia yang mirip dengan kokain. Amfetamin sering dijumpai pada produk2 diet. Wanita yang menggunakan amfetamin sering meningktkan efeknya seperti pada jenis obat lain seperti kokain. Resiko yang dihadapi oleh wanita meliputi: resiko gangguan kardiovaskuler untuk kokain. Selanjtnya amfetamin juga dapat menyebabkan efek paranoid dan halusinasi. Fetal dan BBL yang mengalami efek seharusnya sama sebagaimana yang sdh dideskripsikan tentang kokain.

OPIATE
Opiate termasuk morfin, kodein, meperidin (demorol), fenranyl, heroin, methadone, oxymorphon, dan hidromorphon. Opite sering digunakan secara intravena. Resiko dari penggunaan obat adalah bersamaan dengan resiko pada perilaku penggunaan jarum beramai-ramai, seperti hepatitis, HIV, endokarditis, selulitis. Wanita yang ketergantungan pada opiate berada pada resiko tinggi mengalami STD (sexual Trnsmitted desease), gangguan nutrisi berat, dan polydrug use. Bahaya yang akut dari penggunaan opiate adalah overdosis dan kecanduan. Kecanduan opiate semasa kehamilan dihubungkan dengan fetal distress dan fetal death. Penggunaan opiet krnik dihubungkan dengan BBLR, dan lingkar kepala yang kecil. Kecanduan opiate membutuhkan terapi supportive dengan bantuan terapi obat2an.
Bidan seharusnya berkonsultasi dengan dokter berhubungan dengan manajemen dan kemungkinan upaya detoksifiksi atau konversi menjadi methadone untuk wanita pecandu opiate. Wanita diberikan program methadone selama kehamilan sehingga obat yang diterima dapat diregulasi dan terjadinya resiko overdosis dan kecanduan dapat dicegah. Tetapi penggunaan methadone sendiri masih kontrversial, sebab efek ecanduan terhadap methadone pada BBL lebih parah daropada efek kecanduan opiate, dank karena wanita menggunakan methadone sebagai tambahan untuk illicit drugs.
Selama melahirkan, perawat harus memperhatikan dan mengamati efek dari putus obat. Gejala putus obat termasuk vomiting, diarea, kecemasan, waktu istirahat yang kurang, perasaan hangat, dank ram abdomen. Karena gejala ini dapat juga ditemukan normal pada wanita melahirkan normal, berhati-hatilah dalam mengevaluasinya. Hal ini sangat penting untuk membrikan pertanyaan kepada wanita secara hati-hati untuk memastikan waktu pertama kali mengunakan opiate. Jika gejala masih ada dan gejala putus obat mulai muncul, melakukan pengkajian dan terapi narkotik mungkin sangat doperlukan. Jumlah dosis obat yang adekuat untuk menjaga dan mencegah gejala putus obat serta mencegah efek negative terhadap janin dan sang ibu. Ketika kecanduan dan gejala putus obat muncul, butorphanol (stadol) haruslah dicegah diberikan pada wanita mau melahirkan. Butorphanol dapat mengaktifkan respon putus obat pada wanita yang menggunakan obat opiate.

MANAGEMAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN SUBSTANSI SELAMA MASA KEHAMILAN.
Mendapatkan data melalui riwayat pasien dengan beberapa pertanyaandiarahkan untuk mendeteksi ada tidaknya substansial abuse. Wanita sering mempunyai perilaku “abuse” lebih dari satu kali. Sebagai contoh: kafein dan rokok, wanita yang “abuse” sedative juga biasanya “abuse” stimlansia. Polydrugs sering dijumpai bersamaan dengan illicit brug seperti kokain, heroin, atau maroyuana. Bidan harus menanyakan iinformasi pada penggunaan semua substansia, termasuk over the counter medications, obat2 resep, illicit drug, tembakau, dan alcohol. Hal itu penting untuk mengetahui metode konsumsinya, jumlahnya, dan kombinasinya. Obat kombinasi meningkatkan potensial dari efek dari masing2 obat.
Setelah mengidentifikasi, mangemen itujukan pada pengurangan atau penghilangan substansi dan factor yang mengikutinya. Strategi spesifik untuk mengintervensi pada “abuse” substansi tergantung kepada substansinya dan cara penggunaanya.
Ketika “abuse” substansi muncul selama kehamilan, manajemen haruslah dilakukan melibatkan ibu, bayi dan resiko yang dihubungakn dengan penggunaan substansi. Dalam peresepan obat2an, petugas medik harus diingtkan untuk tiak menggunakan preparations dengan kandungan alcohol tinggi. Untuk wanita yang “abuse” alcohol dan atau obat, atau produk yg nebgandung alcohol dapat potensial meningkatkan efek dari bat2 lainnya yang digunakannya. Peresepan obat2an yang mengandung alcohol telah mensabotase wanita yang hendak berhenti dari pemakaian alkohol.
Ketika wanita dicurigai ektif menggunakan alcohol atau obat2an atau yang ia kenal lainnya, perawat arus mengambil tindakan untuk mencegah nyeri seperti pada pengalaman ketika kehamilan dan melahirkan. Wanita memerlukan support penuh dengan analgesic dan anastesi. Pengkajian riwayat yang tepat dan monitoring reaksi wanita terhadap medikasi akan menimbulkan penyembuhan nyeri tanpa takut resiko overmedication. Witholding medication karena riwayat subtstanse “abuse” adalah cruel dan tidak dibutuhkan. Manajemen nyeri yang tepat tidak akan mencetuskan kekambuhan atau menghambat kebiasaan obat.
Upaya perawatan terhadap wanita yang mengalamu penyalahgunaan obat membutuhkan bantuan kolaborasi dari bidannya dan petugas professional lainnya dalam program multidisiplin yang telah memiliki keahlian dalam penanganan penyalahgunaan dan kecanduan chemical “abuse”. Petugas professional dapat terdiri dari: pekerja social, konselor chemical “abuse”, psikologis, psikiatris, mutrisionist, farmakologist, dan dokter dengan pengetahuan dan pengalaman dalam memanage detoksifikasi. Bidan harusmengkoordinasi perawatan wanita dengan para professional tersebut dalam perawatan penyalahgunaan substansi. Hal itu penting bahwa wanita yang dalam perawatan menerima informasi yang konsistendan semua tim mempunyai pengharapan yang sama untuk perilakunya. Pelatihan dan perawatan serta perbaikan biasanya agak lama, ditandai dengan waktu sukses dan waktu kambuh. Siklus pebaikan meliputi waktu ketika wanita tdk lagi mengenali kebutuhan untuk merubah perilakunya, waktu untuk berkontemplasi dimana masalah telah dikenal tetapi tidak mebutuhkan lagi upaya peaikan, waktu ketika wania menyusun rencana kegiatan, waktu melakukan kegiatan, dan waktu untuk maintenance/pemeliharaan. Kekambuhan diharapkan, dan perbaikan setelah kekambuhan mempunyai arti pengulangan kembali siklus perbaikan. Faktor2 yang memotivasi perbaikan pada wanita yang penyalahgunaan substansi alcohol maupun obat bermacam2 dan tidak dapat diprediksi. Kadang2 berorientsi kepada sang bayi selam ehamilan, kadang2 terhadap percepatan untuk memulai siklus perbaikan. Untuk wanita dengan kecanduan tidak dapat menuju siklus perbaikan, berbagai perhatian yang ditujukan ke sang bayi mungkin dapat mengingatkan wanita dari obat yang didapatkannya. Wanita yang sendiri memiliki kekuatan untuk mengubah perilaku kecanduannya. Bidan harus memberikan dukungan terus-menerus kepada wanita ketika hendak mengenali pola perbaikan dan pola kekambuhan dari kecanduan. Dengan menyediakan erawatan berkelanjutan, bidan dapat bekerja untuk meminimalkan komplikasi maternal dan fetal, memperoleh penurunan penggunaan substansi, dan mendukung support siklus perbaikan.


LAKTASI
penyalahgunaan substansi pada wanita yang menyusui akan diteruskan kepada bayi selama menyusuinya. Keuntungan menyusui harus dipertimbangkan lagi dengan dampak kerugian dari masuknya substansi yang berbahaya kepada sang bayi. Bayi dengan fungsi liver yang belum matang, memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam kemampuan memetabolisme dan mengekskresi obat. Selain itu efek dari oat2an pada infant (contoh iritabilitas) dapat menambah masalah ibu dalam erawatan bayinya. Wanita dengan penyalahgunaan substansi sering memiliki kemampuan yang menurun dan koping yang kurang dalam menangani masalah pada bayinya sendiri. Wanita yang aktif dalam penyalahgunaan substansi memiliki peningkatan resiko tingkah laku terhadap penularan STD, termasuk HIV, dimana dapat ditransmisikan kepada bayi melalui ASI. Bidan harus menolong ibu untuk membuat keputusan entang apakah melakukan laktasi setelah melihat riwayat kesehatannya, penggunaan obat terkini, situasi social, dan esiko terhadap bayi, sehingga Laktasi adalah merupaka ontraindikasi bagi ibu yang masih menggunakan alcohol, mariyuana, Phencyclidine (PCP), cocain, heroin, methadone, Librium, diazepam (valium), atau haldol.
Beberapa kondisi memerlukan laporan tentang penyalahgunaan substansi, dan beberapa lainnya memerlukan laporan screening universal pada bayi baru lahir terhadap kejadian penyalahgunaan substansiobat pada ibu selam kehamilan. Sedangkan etika tentang skrening masih aktif diperbincangkan. Hal itu penting bagi para bidan, untuk mengenal dan melaporkan dengan peraturan yang berlaku di Negara, skrening dan atau pelaporan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar